Album IN UTERO Teriakan Putus Asa Nirvana Atas Nama Gen X

Dengan resiko akan membicarakan tentang bunuh diri, kali ini saya akan menulis tentang kelompok musik paling besar di dekade 1990-an, Nirvana. Sangat sulit untuk berbicara tentang Nirvana tanpa menyentuh tema klise bunuh diri sang penyanyi Kurt Cobain. Namun karena tema tersebut sudah terlalu sering dibahas, saya tidak akan menulis lebih lanjut tentang hal tersebut. Cukup untuk dikatakan bahwa bunuh diri sang penghancur berhala (iconoclast) bernama Kurt Cobain, malah membuat dia menjadi berhala yang lebih besar yang tetap menjadi mesin uang bagi siapapun yang mewarisi (secara komersial) karya karyanya.

Tapi sudahlah, dengan atau tanpa bunuh diri, dengan hanya dua studio album yang bisa dikatakan sempurna, Nirvana, Cobain terutama, telah mendapat tempat yang luar biasa terhormat dan istimewa di hati dan kepala mereka yang merasa dirinya menjadi bagian dari Generasi X.

Bagi orang-orang tua yang bukan menjadi bagian dari Generasi X, akan sulit untuk memahami kenapa seseorang penyendiri, pengeluh dan selalu memiliki keinginan bunuh diri seperti Kurt Cobain bisa dianggap menjadi juru bicara seluruh anggota masyarakat yang menjadi bagian generasi X tersebut. Nah untuk itu kita perlu tahu konteks sosial dari kemunculan Nirvana di awal dekade sembilan puluhan. Saya tidak berpretensi untuk menganggap diri saya sebagai bagian dari generasi ini, karena saya dan kita semua di Indonesia mungkin punya kondisi sosial dan suasana politik yang berbeda, dan pembicaraan ini lebih mengacu kepada generasi X di Amerika Serikat, tempat di mana generasi ini dilahirkan—dan menurut Cobain lahir untuk kesia-siaan.

Nah Kurt Cobain datang di puncak alienasi dan keputus-asaan generasi ini, menjadi juru bicara buat mereka sekaligus menjebol tembok yang menghalangi mereka untuk melihat masa depan yang ternyata memang tampak kelam. Di album In Utero ini misalnya, di lagu “Milk It”, Cobain menyarankan bahwa jalan satu satunya untuk keluar ya dengan bunuh diri/Look on the bright side suicide/. Di salah satu karya awal Cobain, “Sliver”, dampak ketiadaan orang tua nampak jelas ketika Cobain berulang ulang meminta sang nenek untuk mengajaknya pulang, entah dari mana: Grand ma Take me Home/Don’t want to be alone.

Generasi X adalah mereka yang paling terkena dampak buruk dari kebijakan ekonomi politik ultra kanan yang dimulai oleh Presiden Ronald Reagan, diteruskan oleh George Bush Sr. dan kemudian presiden Bill Clinton. Anak-anak muda yang tumbuh besar di era ini memiliki banyak hal untuk merasa khawatir dan putus asa (dan saya yakin musik musik era 1980an tidak cukup mampu untuk memberikan hiburan dan jalan keluar bagi kegelisahan mereka). Pengangguran, prospek masa depan yang tidak jelas, ketiadaan kasih sayang orang tua yang sibuk mencari nafkah di beberapa tempat, tingkat bunuh diri dan kekerasan remaja yang tinggi serta bahaya AIDS, adalah kondisi kondisi menakutkan yang harus dihadapi oleh anak anak muda yang lahir di pertengahan dekade 1970-an dan besar di era Perang Bintang.

Di album In Utero sih terlalu banyak ungkapan-ungkapan kesedihan, keputus asaan dan kesia-siaan, yang kalau bukan disertai dengan musik yang luar biasa keras (saya suka dengan kata kata bahasa Inggris incendiary dan/atau scalding seperti yang biasa dipakai majalah majalah musik berbahasa Inggris untuk menggambarkan keras dan panasnya musik Nirvana di album In Utero) saya pasti sudah berhenti mendengarkannya sejak lama. Siapa sih yang ingin mendengar seorang dewasa berumur 25 tahun bernyanyi tentang rasa tidak percaya diri ketika berkumpul di keramaian seperti di “Pennyroyal Tea”/I am on my time with everyone/I have a very bad posture/, namun anehnya dengan vokal serak dan seperti menyimpan seribu kesedihan kita percaya bahwa Kurt sedang berbicara tentang kesedihan seluruh anggota Generasi X. Dan dengan power-chord gitar sederhana di belakang vokal dia yang rapuh kita semua sejenak terbenam dalam kemuraman yang menenangkan.

Di album In Utero ada beberapa lagu yang di permukaan memang sangat keras seperti “Very Ape” dan “Scentless Apprentice” (di lagu kedua Cobain setengah berteriak dan merintih meminta semua orang untuk pergi meninggalkan dia sendiri), namun lagu yang paling menakutkan justru adalah “Heart Shaped Box”. Belum berbicara soal lirik, ini adalah lagu yang paling berat dari Nirvana (yang anehnya malah menjadi single pertama dari album ini). Permainan gitar Cobain di lagu ini hampir bisa menyamai suara putus asa dan ketakutan sang pemiliknya dan secara bergantian riff dan gitar solo menyayat dengan efek yang sama. Coba dengar lagi gitar solo yang diakhiri dengan sedikit efek delay dalam distorsi sebelum dentuman bas Krist Novoselic kira kira semenit sebelum lagu selesai. Di sini ada sedetik atau dua detik keheningan yang paling menakutkan bagi saya. Belum lagi lirik yang membuat badan kita merinding/ I wish I could eat your cancer when you turn back. Video klipnya sendiri sangat seram, penuh dengan salib, warna merah darah, kamar rumah sakit dan burung gagak.

Atau di lagu “Frances Farmer Will Have Her Revenge in Seattle”, yang benar-benar menunjukkan kehebatan Cobain dalam menulis lirik. Dalam satu kalimat I miss the comfort in being sad, kita tidak secara mudah akan mengerti apakah Cobain terlalu sedih sehingga dia merasa nyaman atau dia kehilangan rasa nyaman ketika sedang sedih. Dan tentu saja ada salah satu lagu terbaik yang melibatkan cello di dalamnya. “Dumb”. Dengan melodi yang sederhana mengalun, lagu ini anehnya mengingatkan kita akan sisi terang sang penyanyi. Secara keseluruhan di album ini Nirvana juga meninggalkan resep pelan-kemudian-keras yang mereka pinjam dari band asal Boston, the Pixies. Contoh paling jelas dari resep lambat keras adalah “Lithium” dari album Nevermind.

Satu-satunya lagu yang masih mengikuti pakem Nevermind adalah “All Apologies” dimana intro power chord masuk mendahului riff dasar yang kemudian diulang sampai selesai. Hanya perlu sedikit tambahan cello untuk membuat “All Apologies” menjadi lagu penutup terbaik dari sebuah album rock and roll. Secara tata suara, seperti saya sebut di atas, In Utero adalah album yang paling incendiary (kira kira dalam bahasa Indonesia adalah paling gahar) dari Nirvana. Tidak hanya suara gitar bahkan suara ketukan drum Dave Grohl pun oleh produser Steve Albini diramu sedemikian rupa menjadi sangat keras dan kasar yang terasa seperti kalau kita berdiri terlalu dekat dengan panggung di pertunjukan musik telinga kita akan mudah berdenging. Bahkan di album ini ada petunjuk pemakaian bahwa treble di set pada level 5, sedangkan level bas cukup 2 saja. Penghargaan datang antara lain dari majalah Rolling Stone, yang menempatkan album ini pada urutan 431 dalam list 500 Greatest Albums of All Time.

Kini, semua yang pernah merasa diselamatkan—atau dijerumuskan ke dalam kesedihan oleh Kurt Cobain—saya yakin telah memiliki emosi yang stabil untuk bisa melihat ke belakang dan memiliki kesadaran penuh bahwa Kurt Cobain dan grunge adalah bagian dari proses menjadi dewasa dan beruntung bahwa pada saat itu ada seseorang yang bisa menjadi juru bicara yang mau mengorbankan dirinya bagi semua. Buat Kurt Cobain, semoga arwahmu di terima di sisi-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar